Pencarian Yesus dalam Kisah Imajiner Orang Majus Keempat

Oct 4, 2025Ulasan

Permulaan

Pencarian Yesus dalam kisah imajiner orang majus keempat : Salah satu yang menarik dari sekian bab yang ada pada buku Labirin Kehidupannya Pdt. Joas Adiprasetya . Pada bab The Journey is Home, terlebih pada kisah adanya orang majus ke empat bernama Artaban, saat itu mencoba mencari tahu apakah memang ada orang majus ke-4.

Di dalam alkitabpun sebenarnya tidak memberikan mengenai jumlah orang majus yang datang untuk menemui Tuhan Yesus, namun secara populer, banyak orang mengasumsikan ada 3 karena di alkitab disebutkan persembahan yang di berikan ada 3 benda : emas, kemenyan, dan mur (Matius 2:11).
Dan ternyata tokoh ini (Artaban) merupakah tokoh imajiner yang di ciptakan oleh Henry van Dyke dalam bukunya yang berjudul The Story of the Other Wise Man.

Henry Van Dyke

Pada laman britannica.com , newnetherlandinstitute.org dan beberapa sumber lain, menyebutkan bahwa Henry Van Dyke (1852–1933) adalah seorang penulis, penyair, pendeta Presbiterian, dan diplomat Amerika Serikat yang terkenal pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Ia lahir di Germantown, Pennsylvania, dan menempuh pendidikan di Princeton University serta Princeton Theological Seminary.

Ia pernah menjadi Duta Besar Amerika Serikat untuk Belanda dan Luksemburg (1913–1916). Pengalaman spiritual dan kemanusiaannya memberi kedalaman moral dalam setiap karyanya. Sampai hari ini, The Story of the Other Wise Man tetap menjadi karya paling abadi, dibacakan di gereja-gereja, sekolah, dan rumah-rumah sebagai cerita Natal klasik yang mengajarkan bahwa mengasihi sesama adalah persembahan terbesar kepada Tuhan.

Selain aktif sebagai pendeta dan dosen sastra Inggris di Princeton, Van Dyke dikenal luas sebagai pengarang cerita-cerita yang sarat pesan moral, keindahan alam, dan nilai-nilai kemanusiaan. Gaya tulisannya cenderung hangat, puitis, dan penuh makna spiritual, sehingga karyanya banyak dibaca oleh kalangan gereja, keluarga, maupun pembaca umum.

The Sign in the Sky

Di kota Ecbatana, Persia, hidup seorang Magi bernama Artaban, seorang ilmuwan dan pencari kebenaran yang mendalami ilmu bintang dan nubuat kuno. Ia mempelajari berbagai teks dan ramalan yang menubuatkan kedatangan seorang Raja Agung yang akan membawa pembebasan bagi dunia.
Suatu malam, ketika menatap langit, Artaban melihat cahaya baru sebuah bintang yang begitu terang dan aneh sehingga ia yakin inilah tanda lahirnya Raja yang dinantikan bangsa-bangsa. Penuh semangat, ia mengumpulkan sahabat-sahabatnya sesama Magi dan menyampaikan rencananya untuk melakukan perjalanan panjang ke Barat, ke tanah Israel, guna menyambut Sang Raja.

Untuk persembahan, Artaban menjual rumahnya dan sebagian besar hartanya, lalu membeli tiga batu mulia yang sangat berharga: safir biru yang melambangkan kesetiaan, rubi merah yang melambangkan pengorbanan, dan mutiara putih yang melambangkan kemurnian. Batu-batu itu disiapkan sebagai hadiah bagi Raja.

Namun, sebagian besar rekannya ragu, takut akan bahaya perjalanan dan ketidakpastian ramalan. Meski hanya sedikit yang memberi dukungan moral, Artaban tetap teguh. Malam itu, saat ia menatap bintang terang yang bergerak di langit, keyakinannya semakin kokoh: ia harus meninggalkan semua kenyamanan untuk mencari Raja yang akan membawa terang bagi dunia.

Artaban menjual rumahnya dan sebagian besar hartanya, lalu membeli tiga batu mulia yang sangat berharga: safir biru yang melambangkan kesetiaan, rubi merah yang melambangkan pengorbanan, dan mutiara putih yang melambangkan kemurnian. Batu-batu itu disiapkan sebagai hadiah bagi Raja.

By the Waters of Babylon

Artaban memulai perjalanan panjangnya melintasi gurun dan lembah menuju titik pertemuan di Babilonia, tempat ia berjanji akan bertemu ketiga Magi lainnya sebelum melanjutkan ke Betlehem. Waktu sangat berharga karena rombongan tidak bisa menunggu terlalu lama. Namun, di tengah perjalanan, Artaban menemukan seorang pria yang terbaring di jalan dalam kondisi kritis, hampir mati karena penyakit dan kehausan. Hatinya diguncang dilema besar: jika ia berhenti menolong, ia mungkin tertinggal dan kehilangan kesempatan menemui Raja; tetapi jika ia terus berjalan, orang itu akan mati.

Dorongan kasih mengalahkan ambisinya. Artaban berhenti, memberi air, merawat luka, dan mengobati orang tersebut dengan ramuan yang ia bawa. Setelah beberapa jam, orang itu terselamatkan dan sebagai ucapan terima kasih, ia berbisik tentang nubuat Mesias yang akan lahir di Betlehem.
Namun, ketika Artaban akhirnya sampai di Babilonia, ia menemukan bahwa para Magi telah pergi meninggalkannya karena waktu pertemuan telah lewat. Meskipun kecewa, Artaban memilih untuk terus melanjutkan perjalanan seorang diri, yakin bahwa kebaikan yang telah ia lakukan adalah bagian dari panggilan yang lebih besar.

For the Sake of a Little Child

Setelah perjalanan penuh rintangan, Artaban akhirnya tiba di Betlehem. Namun, ia terlambat lagi. Maria, Yusuf, dan bayi Yesus telah meninggalkan kota untuk melarikan diri ke Mesir setelah kunjungan Tiga Majus. Di Betlehem, Artaban singgah di sebuah rumah kecil milik seorang wanita muda yang baru saja melahirkan. Saat ia berbincang, terdengar suara gaduh: prajurit Herodes datang untuk melaksanakan perintah mengerikan—membunuh semua bayi laki-laki. Artaban segera menyadari bahaya yang mengancam bayi di rumah itu.

Tanpa ragu, ia berdiri menghadang para prajurit, menghalangi pintu, dan menenangkan pemimpin pasukan dengan kata-kata bijak. Untuk meyakinkan mereka, ia menyerahkan rubi merah sebagai “hadiah” agar mereka tidak menggeledah rumah itu. Prajurit pun pergi, dan nyawa bayi itu terselamatkan. Namun, tindakan itu berarti ia kehilangan salah satu hadiah paling berharganya, rubi yang seharusnya dipersembahkan kepada Raja. Artaban merasa sedih karena semakin jauh dari tujuannya, tetapi di dalam hatinya ia tahu bahwa menyelamatkan satu nyawa lebih berharga daripada mempersembahkan permata.

Perjalanan yang semula dimaksudkan untuk mencari Raja menjadi sebuah ziarah pelayanan, di mana setiap penderitaan yang ia temui mengasah hatinya menjadi lebih penuh kasih

In the Hidden Way of Sorrow

Perjalanan Artaban berlanjut selama puluhan tahun. Ia menelusuri Mesir, Alexandria, dan berbagai kota di Timur Tengah, berharap menemukan Mesias yang telah tumbuh dewasa. Namun, setiap kali ia tiba di suatu tempat, Yesus selalu sudah pergi atau jejak-Nya sulit ditemukan. Dalam pencarian ini, Artaban menghadapi penderitaan yang tak terhitung: ia melihat kemiskinan, penyakit, perbudakan, dan ketidakadilan. Berkali-kali ia menunda pencariannya demi menolong orang yang membutuhkan. Ia menjual barang-barang berharganya, menggunakan pengetahuan medisnya untuk merawat orang sakit, memberi makan orang lapar, dan menebus tawanan.

Meskipun ia masih menyimpan dua permata terakhir safir dan mutiara, ia sering tergoda untuk menggunakannya untuk menolong orang lain. Lambat laun, perjalanan yang semula dimaksudkan untuk mencari Raja menjadi sebuah ziarah pelayanan, di mana setiap penderitaan yang ia temui mengasah hatinya menjadi lebih penuh kasih. Tahun demi tahun berlalu, rambut Artaban memutih, tubuhnya melemah, tetapi semangatnya untuk mencari Raja tidak pernah padam.

A Pearl of Great Price

Tiga puluh tiga tahun sejak ia melihat bintang pertama, Artaban yang telah menua akhirnya tiba di Yerusalem pada hari Paskah. Kota itu penuh kerumunan; kabar beredar bahwa seorang nabi bernama Yesus dari Nazaret akan dihukum mati di kayu salib.

Hatinya berdebar ia yakin inilah Raja yang selama ini ia cari. Ia bergegas menuju Golgota, tetapi di tengah jalan ia melihat sekelompok tentara yang menggiring seorang gadis muda untuk dijual sebagai budak guna membayar utang keluarganya.
Sekali lagi, Artaban menghadapi pilihan yang menyayat hati: apakah ia akan menggunakan mutiara putih, hadiah terakhirnya untuk Sang Raja, untuk menebus gadis itu, ataukah ia akan menyimpannya untuk persembahan yang telah ia nantikan selama puluhan tahun? Dalam detik penentuan, kasih mengalahkan ambisi. Ia memberikan mutiara itu untuk menebus gadis itu agar merdeka.

Saat transaksi selesai, gempa bumi besar mengguncang kota. Sebuah batu besar jatuh dari kuil dan melukai kepala Artaban. Dalam kondisi sekarat, ia mendengar suara lembut yang berkata, “Sesungguhnya, apa yang engkau lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, engkau telah melakukannya untuk Aku.
Saat itu Artaban mengerti bahwa sepanjang hidupnya, ia sebenarnya telah menemukan Raja melalui setiap tindakan kasih dan pengorbanan bagi sesama. Hadiah-hadiah yang ia persembahkan bukanlah permata, melainkan kehidupannya sendiri yang penuh pelayanan.

Dengan senyum damai, Artaban menghembuskan napas terakhir, menyadari bahwa meskipun ia tidak pernah bertemu Yesus secara fisik, ia telah melihat dan melayani-Nya dalam diri orang-orang yang menderita.

Conclusion

Walau kisah imajiner, namun Henry van Dyke menyajikan dengan apik disetiap moment pertemuan Artaban dengan pribadi Yesus disetiap orang – orang yang ditolongnya penuh dengan kasih.
Pertemuan sejati dengan Tuhan tidak selalu terjadi di tempat suci atau melalui ritual lahiriah. Sebaliknya, perjumpaan itu terjadi dalam setiap tindakan kasih, pengorbanan, dan pelayanan kepada mereka yang lemah, miskin, dan menderita.

Artaban tidak pernah memberikan safir, rubi, dan mutiara kepada Yesus secara langsung, tetapi hidupnya sendiri menjadi persembahan yang lebih mulia daripada permata dunia.

Bukan pada rupa yang fana, tetapi pada kasih yang melayani jiwa.
Kita yang mengaku sebagai murid Yesus, yang mengaku sebagai pengikut Yesus,.. masih mau ngeyel dengan mengedepankan lahiriah daripada melayani sesama yang jelas jelas membutuhkan kasih kita ?

Demikian